Makna Isra' dan Mi'raj
(Prof. Dr. M. Quraish Shihab)
Perjalanan Nabi Muhammad saw. dari Makkah ke Bayt Al-Maqdis, kemudian
naik ke Sidrat Al-Muntaha, bahkan melampauinya, serta kembalinya ke Makkah
dalam waktu sangat singkat, merupakan tantangan terbesar sesudah Al-Quran
disodorkan oleh Tuhan kepada umat manusia. Peristiwa ini membuktikan bahwa 'ilm
dan qudrat Tuhan meliputi dan menjangkau, bahkan mengatasi, segala yang finite
(terbatas) dan infinite (tak terbatas) tanpa terbatas waktu atau ruang.
Kaum empirisis dan rasionalis, yang melepaskan diri dari bimbingan
wahyu, dapat saja menggugat: Bagaimana mungkin kecepatan, yang bahkan melebihi
kecepatan cahaya, kecepatan yang merupakan batas kecepatan tertinggi dalam
continuum empat dimensi ini, dapat terjadi? Bagaimana mungkin lingkungan material
yang dilalui oleh Muhammad saw. tidak mengakibatkan gesekan-gesekan panas yang
merusak tubuh beliau sendiri? Bagaimana mungkin beliau dapat melepaskan diri
dari daya tarik bumi? Ini tidak mungkin terjadi, karena ia tidak sesuai dengan
hukum-hukum alam, tidak dapat dijangkau oleh pancaindera, bahkan tidak dapat
dibuktikan oleh patokan-patokan logika. Demikian kira-kira kilah mereka yang
menolak peristiwa ini.
Memang, pendekatan yang paling tepat untuk memahaminya adalah pendekatan
imaniy. Inilah yang ditempuh oleh Abu Bakar AlShiddiq, seperti tergambar dalam
ucapannya: "Apabila Muhammad yang memberitakannya, pasti benarlah
adanya." Oleh sebab itu, uraian ini berusaha untuk memahami peristiwa
tersebut melalui apa yang kita percayai kebenarannya berdasarkan bukti-bukti
ilmiah yang dikemukakan oleh Al-Quran.
Salah satu hal yang menjadi pusat pembahasan Al-Quran adalah masa depan
ruhani manusia demi mewujudkan keutuhannya. Uraian Al-Quran tentang Isra' dan
Mi'raj merupakan salah satu cara pembuatan skema ruhani tersebut. Hal ini
terbukti jelas melalui pengamatan terhadap sistematika dan kandungan Al-Quran,
baik dalam bagian-bagiannya yang terbesar maupun dalam ayat-ayatnya yang
terinci.
Tujuh bagian pertama Al-Quran membahas pertumbuhan jiwa manusia sebagai
pribadi-pribadi yang secara kolektif membentuk umat.
Dalam bagian kedelapan sampai keempat belas, Al-Quran menekankan
pembangunan manusia seutuhnya serta pembangunan masyarakat dan konsolidasinya.
Tema bagian kelima belas mencapai klimaksnya dan tergambar pada pribadi yang
telah mencapai tingkat tertinggi dari manusia seutuhnya, yakni al-insan
al-kamil. Dan karena itu, peristiwa Isra' dan Mi'raj merupakan awal bagian ini,
dan berkelanjutan hingga bagian kedua puluh satu, di mana kisah para rasul
diuraikan dari sisi pandangan tersebut. Kemudian, masalah perkembangan ruhani
manusia secara orang per orang diuraikan lebih lanjut sampai bagian ketiga
puluh, dengan penjelasan tentang hubungan perkembangan tersebut dengan
kehidupan masyarakat secara timbal-balik.
Kemudian, kalau kita melihat cakupan lebih kecil, maka ilmuwan-ilmuwan
Al-Quran, sebagaimana ilmuwan-ilmuwan pelbagai disiplin ilmu, menyatakan bahwa
segala sesuatu memiliki pendahuluan yang mengantar atau menyebabkannya. Imam
Al-Suyuthi berpendapat bahwa pengantar satu uraian dalam Al-Quran adalah uraian
yang terdapat dalam surat sebelumnya.204
Sedangkan inti uraian satu surat dipahami dari nama surat tersebut, seperti
dikatakan oleh Al-Biqai'i.205
Dengan demikian, maka pengantar uraian peristiwa Isra' adalah surat yang
dinamai Tuhan dengan sebutan Al-Nahl, yang berarti lebah.
Mengapa lebah? Karena makhluk ini memiliki banyak keajaiban.
Keajaibannya itu bukan hanya terlihat pada jenisnya, yang jantan dan betina,
tetapi juga jenis yang bukan jantan dan bukan betina. Keajaibannya juga tidak
hanya terlihat pada sarang-sarangnya yang tersusun dalam bentuk lubang-lubang
yang sama bersegi enam dan diselubungi oleh selaput yang sangat halus
menghalangi udara atau bakteri menyusup ke dalamnya, juga tidak hanya terletak
pada khasiat madu yang dihasilkannya, yang menjadi makanan dan obat bagi sekian
banyak penyakit. Keajaiban lebah mencakup itu semua, dan mencakup pula sistem
kehidupannya yang penuh disiplin dan dedikasi di bawah pimpinan seekor
"ratu". Lebah yang berstatus ratu ini pun memiliki keajaiban dan
keistimewaan. Misalnya, bahwa sang ratu ini, karena rasa "malu" yang
dimiliki dan dipeliharanya, telah menjadikannya enggan untuk mengadakan
hubungan seksual dengan salah satu anggota masyarakatnya yang jumlahnya dapat
mencapai sekitar tiga puluh ribu ekor. Di samping itu, keajaiban lebah juga
tampak pada bentuk bahasa dan cara mereka berkomunikasi, yang dalam hal ini
telah dipelajari secara mendalam oleh seorang ilmuwan Austria, Karl Van Fritch.
Lebah dipilih Tuhan untuk menggambarkan keajaiban ciptaan-Nya agar
menjadi pengantar keajaiban perbuatan-Nya dalam peristiwa Isra' dan Mi'raj.
Lebah juga dipilih sebagai pengantar bagi bagian yang menjelaskan manusia
seutuhnya. Karena manusia seutuhnya, manusia mukmin, menurut Rasul, adalah
"bagaikan lebah, tidak makan kecuali yang baik dan indah, seperti kembang
yang semerbak; tidak menghasilkan sesuatu kecuali yang baik dan berguna,
seperti madu yang dihasilkan lebah itu."
Dalam cakupan yang lebih kecil lagi, kita melontarkan pandangan kepada
ayat pertama surat pengantar tersebut. Di sini Allah berfirman: Telah datang
ketetapan Allah (Hari Kiamat). Oleh sebab itu janganlah kamu meminta agar
disegerakan datangnya.
Dunia belum kiamat, mengapa Allah mengatakan kiamat telah datang?
Al-Quran menyatakan "telah datang ketetapan Allah," mengapa
dinyatakan-Nya juga "jangan meminta agar disegerakan datangnya"? Ini
untuk memberi isyarat sekaligus pengantar bahwa Tuhan tidak mengenal waktu
untuk mewujudkan sesuatu. Hari ini, esok, juga kemarin, adalah perhitungan
manusia, perhitungan makhluk. Tuhan sama sekali tidak terikat kepadanya, sebab
adalah Dia yang menguasai masa. Karenanya Dia tidak membutuhkan batasan untuk
mewujudkan sesuatu. Dan hal ini ditegaskan-Nya dalam surat pengantar ini dengan
kalimat: Maka perkataan Kami kepada sesuatu, apabila Kami menghendakinya, Kami
hanya menyatakan kepadanya "kun" (jadilah), maka jadilah ia (QS
16:40).
Di sini terdapat dua hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, kenyataan
ilmiah menunjukkan bahwa setiap sistem gerak mempunyai perhitungan waktu yang
berbeda dengan sistem gerak yang lain. Benda padat membutuhkan waktu yang lebih
lama dibandingkan dengan suara. Suara pun membutuhkan waktu lebih lama
dibandingkan dengan cahaya. Hal ini mengantarkan para ilmuwan, filosof, dan
agamawan untuk berkesimpulan bahwa, pada akhirnya, ada sesuatu yang tidak
membutuhkan waktu untuk mencapai sasaran apa pun yang dikehendaki-Nya. Sesuatu
itulah yang kita namakan Allah SWT, Tuhan Yang Mahaesa.
Kedua, segala sesuatu, menurut ilmuwan, juga menurut Al-Quran, mempunyai
sebab-sebab. Tetapi, apakah sebab-sebab tersebut yang mewujudkan sesuatu itu?
Menurut ilmuwan, tidak. Demikian juga menurut Al-Quran. Apa yang diketahui oleh
ilmuwan secara pasti hanyalah sebab yang mendahului atau berbarengan dengan
terjadinya sesuatu. Bila dinyatakan bahwa sebab itulah yang mewujudkan dan
menciptakan sesuatu, muncul sederet keberatan ilmiah dan filosofis.
Bahwa sebab mendahului sesuatu, itu benar. Namun kedahuluan ini tidaklah
dapat dijadikan dasar bahwa ialah yang mewujudkannya. "Cahaya yang
terlihat sebelum terdengar suatu dentuman meriam bukanlah penyebab suara
tersebut dan bukan pula penyebab telontarnya peluru," kata David Hume.
"Ayam yang selalu berkokok sebelum terbit fajar bukanlah penyebab
terbitnya fajar," kata Al-Ghazali jauh sebelum David Hume lahir.
"Bergeraknya sesuatu dari A ke B, kemudian dari B ke C, dan dari C ke D,
tidaklah dapat dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa pergerakannya dari B ke C
adalah akibat pergerakannya dari A ke B," demikian kata Isaac Newton, sang
penemu gaya gravitasi.
Kalau demikian, apa yang dinamakan hukum-hukum alam tiada lain kecuali
"a summary o f statistical averages" (ikhtisar dari rerata
statistik). Sehingga, sebagaimana dinyatakan oleh Pierce, ahli ilmu alam, apa
yang kita namakan "kebetulan" dewasa ini, adalah mungkin merupakan suatu
proses terjadinya suatu kebiasaan atau hukum alam. Bahkan Einstein, lebih tegas
lagi, menyatakan bahwa semua apa yang terjadi diwujudkan oleh "superior
reasoning power" (kekuatan nalar yang superior). Atau, menurut bahasa
Al-Quran, "Al-'Aziz Al-'Alim", Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha
Mengetahui. Inilah yang ditegaskan oleh Tuhan dalam surat pengantar peristiwa
Isra' dan Mi'raj itu dengan firman-Nya: Kepada Allah saja tunduk segala apa
yang di langit dan di bumi, termasuk binatang-binatang melata, juga malaikat,
sedangkan mereka tidak menyombongkan diri. Mereka takut kepada Tuhan mereka
yang berkuasa atas mereka dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan
(kepada mereka) (QS 16:49-50).
Pengantar berikutnya yang Tuhan berikan adalah: Janganlah meminta untuk
tergesa-gesa. Sayangnya, manusia bertabiat tergesa-gesa, seperti ditegaskan
Tuhan ketika menceritakan peristiwa Isra' ini, Adalah manusia bertabiat
tergesa-gesa (QS 17:11). Ketergesa-gesaan inilah yang antara lain menjadikannya
tidak dapat membedakan antara: (a) yang mustahil menurut akal dengan yang
mustahil menurut kebiasaan, (b) yang bertentangan dengan akal dengan yang tidak
atau belum dimengerti oleh akal, dan (c) yang rasional dan irasional dengan
yang suprarasional.
Dari segi lain, dalam kumpulan ayat-ayat yang mengantarkan uraian
Al-Quran tentang peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, dalam surat Isra' sendiri,
berulang kali ditegaskan tentang keterbatasan pengetahuan manusia serta sikap
yang harus diambilnya menyangkut keterbatasan tersebut. Simaklah ayat-ayat
berikut: Dia (Allah) menciptakan apa-apa (makhluk) yang kamu tidak
mengetahuinya (QS 16:8); Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui (QS 16:74); dan Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan kecuali sedikit
(QS 17:85); dan banyak lagi lainnya. Itulah sebabnya, ditegaskan oleh Allah
dengan firman-Nya: Dan janganlah kamu mengambil satu sikap (baik berupa ucapan
maupun tindakan) yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang hal tersebut;
karena sesungguhnya pendengaran, mata, dan hati, kesemuanya itu kelak akan
dimintai pertanggungjawaban (QS 17:36).
Apa yang ditegaskan oleh Al-Quran tentang keterbatasan pengetahuan
manusia ini diakui oleh para ilmuwan pada abad ke-20. Schwart, seorang pakar
matematika kenamaan Prancis, menyatakan: "Fisika abad ke-19 berbangga diri
dengan kemampuannya menghakimi segenap problem kehidupan, bahkan sampai kepada
sajak pun. Sedangkan fisika abad ke-20 ini yakin benar bahwa ia tidak
sepenuhnya tahu segalanya, walaupun yang disebut materi sekalipun." Sementara
itu, teori Black Holes menyatakan bahwa "pengetahuan manusia tentang alam
hanyalah mencapai 3% saja, sedang 97% selebihnya di luar kemampuan
manusia."
Kalau demikian, seandainya, sekali lagi seandainya, pengetahuan
seseorang belum atau tidak sampai pada pemahaman secara ilmiah atas peristiwa
Isra' dan Mi'raj ini; kalau betul demikian adanya dan sampai saat ini masih
juga demikian, maka tentunya usaha atau tuntutan untuk membuktikannya secara
"ilmiah" menjadi tidak ilmiah lagi. Ini tampak semakin jelas jika
diingat bahwa asas filosofis dari ilmu pengetahuan adalah trial and error,
yakni observasi dan eksperimentasi terhadap fenomena-fenomena alam yang berlaku
di setiap tempat dan waktu, oleh siapa saja. Padahal, peristiwa Isra' dan
Mi'raj hanya terjadi sekali saja. Artinya, terhadapnya tidak dapat dicoba,
diamati dan dilakukan eksperimentasi.
Itulah sebabnya mengapa Kierkegaard, tokoh eksistensialisme, menyatakan:
"Seseorang harus percaya bukan karena ia tahu, tetapi karena ia tidak
tahu." Dan itu pula sebabnya, mengapa Immanuel Kant berkata: "Saya
terpaksa menghentikan penyelidikan ilmiah demi menyediakan waktu bagi hatiku
untuk percaya." Dan itu pulalah sebabnya mengapa "oleh-oleh"
yang dibawa Rasul dari perjalanan Isra' dan Mi'raj ini adalah kewajiban shalat;
sebab shalat merupakan sarana terpenting guna menyucikan jiwa dan memelihara
ruhani.
Kita percaya kepada Isra' dan Mi'raj, karena tiada perbedaan antara
peristiwa yang terjadi sekali dan peristiwa yang terjadi berulang kali selama
semua itu diciptakan serta berada di bawah kekuasaan dan pengaturan Tuhan Yang
Mahaesa.
Sebelum Al-Quran mengakhiri pengantarnya tentang peristiwa ini, dan
sebelum diungkapnya peristiwa ini, digambarkannya bagaimana kelak orang-orang
yang tidak mempercayainya dan bagaimana pula sikap yang harus diambilnya. Allah
berfirman: Bersabarlah wahai Muhammad; tiadalah kesabaranmu melainkan dengan
pertolongan Allah. Janganlah kamu bersedih hati terhadap (keingkaran) mereka.
Jangan pula kamu bersempit dada terhadap apa-apa yang mereka tipudayakan. Allah
beserta orang-orang yang bertakwa dan orang orang yang berbuat kebajikan. (QS
16:127-128). Inilah pengantar Al-Quran yang disampaikan sebelum diceritakannya
peristiwa Isra' dan Mi'raj.
Agaknya, yang lebih wajar untuk dipertanyakan bukannya bagaimana Isra'
dan Mi 'raj terjadi, tetapi mengapa Isra' dan Mi 'raj.
Seperti yang telah dikemukakan pada awal uraian, Al-Quran, pada bagian
kedelapan sampai bagian kelima belas, menguraikan dan menekankan pentingnya
pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat beserta
konsolidasinya. Ini mencapai klimaksnya pada bagian kelima belas atau surat
ketujuh belas, yang tergambar pada pribadi hamba Allah yang di-isra'-kan ini,
yaitu Muhammad saw., serta nilai-nilai yang diterapkannya dalam masyarakat beliau.
Karena itu, dalam kelompok ayat yang menceritakan peristiwa ini (dalam surat
Al-Isra'), ditemukan sekian banyak petunjuk untuk membina diri dan membangun
masyarakat.
Pertama, ditemukan petunjuk untuk melaksanakan
shalat lima waktu (pada ayat 78). Dan shalat ini pulalah yang merupakan inti
dari peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, karena shalat pada hakikatnya merupakan
kebutuhan mutlak untuk mewujudkan manusia seutuhnya, kebutuhan akal pikiran dan
jiwa manusia, sebagaimana ia merupakan kebutuhan untuk mewujudkan masyarakat
yang diharapkan oleh manusia seutuhnya. Shalat dibutuhkan oleh pikiran dan akal
manusia, karena ia merupakan pengejawantahan dari hubungannya dengan Tuhan,
hubungan yang menggambarkan pengetahuannya tentang tata kerja alam raya ini, yang
berjalan di bawah satu kesatuan sistem. Shalat juga menggambarkan tata
inteligensia semesta yang total, yang sepenuhnya diawasi dan dikendalikan oleh
suatu kekuatan Yang Mahadahsyat dan Maha Mengetahui, Tuhan Yang Mahaesa. Dan
bila demikian, maka tidaklah keliru bila dikatakan bahwa semakin mendalam
pengetahuan seseorang tentang tata kerja alam raya ini, akan semakin tekun dan
khusyuk pula ia melaksanakan shalatnya.
Shalat juga merupakan kebutuhan jiwa. Karena, tidak seorang pun dalam
perjalanan hidupnya yang tidak pernah mengharap atau merasa cemas. Hingga, pada
akhirnya, sadar atau tidak, ia menyampaikan harapan dan keluhannya kepada Dia
Yang Mahakuasa. Dan tentunya merupakan tanda kebejatan akhlak dan kerendahan
moral, apabila seseorang datang menghadapkan dirinya kepada Tuhan hanya pada
saat dirinya didesak oleh kebutuhannya.
Shalat juga dibutuhkan oleh masyarakat manusia, karena shalat, dalam
pengertiannya yang luas, merupakan dasar-dasar pembangunan. Orang Romawi Kuno
mencapai puncak keahlian dalam bidang arsitektur, yang hingga kini tetap
mengagumkan para ahli, juga karena adanya dorongan tersebut. Karena itu, Alexis
Carrel menyatakan: "Apabila pengabdian, shalat, dan doa yang tulus kepada
Sang Maha Pencipta disingkirkan dari tengah kehidupan bermasyarakat, maka hal
itu berarti kita telah menandatangani kontrak bagi kehancuran masyarakat
tersebut." Dan, untuk diingat, Alexis Carrel bukanlah seorang yang
memiliki latar belakang pendidikan agama. Ia adalah seorang dokter yang telah
dua kali menerima hadiah Nobel atas hasil penelitiannya terhadap jantung burung
gereja serta pencangkokannya. Dan, menurut Larouse Dictionary, Alexis Carrel
dinyatakan sebagai satu pribadi yang pemikiran-pemikirannya secara mendasar
akan berpengaruh pada penghujung abad XX ini.
Apa yang dinyatakan ilmuwan ini sejalan dengan penegasan Al-Quran yang
ditemukan dalam pengantar uraiannya tentang peristiwa Isra' dalam surat Al-Nahl
ayat 26. Di situ digambarkan pembangkangan satu kelompok masyarakat terhadap
petunjuk Tuhan dan nasib mereka menurut ayat tersebut: Allah menghancurkan
bangunan-bangunan mereka dari fondasinya, lalu atap bangunan itu menimpa mereka
dari atas; dan datanglah siksaan kepada mereka dari arah yang mereka tidak duga
(QS 16:26).
Kedua, petunjuk-petunjuk lain yang ditemukan
dalam rangkaian ayat-ayat yang menjelaskan peristiwa Isra' dan Mi'raj, dalam
rangka pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat adil dan makmur, antara
lain adalah: Jika kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan
kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mereka menaati Allah
untuk hidup dalam kesederhanaan), tetapi mereka durhaka; maka sudah
sepantasnyalah berlaku terhadap mereka ketetapan Kami dan Kami hancurkan negeri
itu sehancur-hancurnya (QS 17:16).
Ditekankan dalam surat ini bahwa "Sesungguhnya orang yang hidup
berlebihan adalah saudara-saudara setan" (QS 17:27).
Dan karenanya, hendaklah setiap orang hidup dalam kesederhanaan dan
keseimbangan: Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu (pada lehermu dan
sebaliknya), jangan pula kamu terlalu mengulurkannya, agar kamu tidak menjadi
tercela dan menyesal (QS 17:29).
Bahkan, kesederhanaan yang dituntut bukan hanya dalam bidang ekonomi
saja, tetapi juga dalam bidang ibadah. Kesederhanaan dalam ibadah shalat misalnya,
tidak hanya tergambar dari adanya pengurangan jumlah shalat dari lima puluh
menjadi lima kali sehari, tetapi juga tergambar dalam petunjuk yang ditemukan
di surat Al-Isra' ini juga, yakni yang berkenaan dengan suara ketika
dilaksanakan shalat: Janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan
jangan pula merendahkannya, tetapi carilah jalan tengah di antara keduanya (QS
17: 110).
Jalan tengah di antara keduanya ini berguna untuk dapat mencapai
konsentrasi, pemahaman bacaan dan kekhusyukan. Di saat yang sama, shalat yang
dilaksanakan dengan "jalan tengah" itu tidak mengakibatkan gangguan
atau mengundang gangguan, baik gangguan tersebut kepada saudara sesama Muslim
atau non-Muslim, yang mungkin sedang belajar, berzikir, atau mungkin sedang
sakit, ataupun bayi-bayi yang sedang tidur nyenyak. Mengapa demikian? Karena,
dalam kandungan ayat yang menceritakan peristiwa ini, Tuhan menekankan
pentingnya persatuan masyarakat seluruhnya. Dengan demikian, masing-masing
orang dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya, sesuai dengan kemampuan dan
bidangnya, tanpa mempersoalkan agama, keyakinan, dan keimanan orang lain. Ini
sesuai dengan firman Allah:
Katakanlah wahai Muhammad, "Hendaklah
tiap-tiap orang berkarya menurut bidang dan kemampuannya masing-masing."
Tuhan lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya (QS 17:84).
Akhirnya, sebelum uraian ini disudahi, ada baiknya dibacakan ayat
terakhir dalam surat yang menceritakan peristiwa Isra' dan Mi'raj ini:
Katakanlah wahai Muhammad: "Percayalah kamu atau tidak usah percaya
(keduanya sama bagi Tuhan)." Tetapi sesungguhnya mereka yang diberi
pengetahuan sebelumnya, apabila disampaikan kepada mereka, maka mereka
menyungkur atas muka mereka, sambil bersujud (QS 17: 107).
Itulah sebagian kecil dari petunjuk dan kesan yang dapat kami pahami,
masing-masing dari surat pengantar uraian peristiwa Isra ; yakni surat Al-Nahl,
dan surat Al-Isra' sendiri. Khusus dalam pemahaman tentang peristiwa Isra' dan
Mi'raj ini, semoga kita mampu menangkap gejala dan menyuarakan keyakinan tentang
adanya ruh intelektualitas Yang Mahaagung, Tuhan Yang Mahaesa di alam semesta
ini, serta mampu merumuskan kebutuhan umat manusia untuk memujaNya sekaligus
mengabdi kepada-Nya.
Catatan kaki
204
Lihat bukunya, Asrar Tartib Al-Qur'an.
205
Lihat dalam pengantar untuk bukunya, Nazhm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa
Al-Suwar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar