Kebenaran Ilmiah
Al-Quran
(Prof. Dr. M. Quraish Shihab)
(Prof. Dr. M. Quraish Shihab)
Al-Quran adalah
kitab petunjuk, demikian hasil yang kita peroleh dari mempelajari sejarah
turunnya. Ini sesuai pula dengan penegasan Al-Quran: Petunjuk bagi manusia,
keterangan mengenai petunjuk serta pemisah antara yang hak dan batil. (QS
2:185).
Jika demikian,
apakah hubungan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan? Berkaitan dengan hal ini,
perselisihan pendapat para ulama sudah lama berlangsung. Dalam kitabnya Jawahir
Al-Quran, Imam Al-Ghazali menerangkan pada bab khusus bahwa seluruh cabang ilmu
pengetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun yang
belum, semua bersumber dari Al-Quran Al-Karim. Al-Imam Al-Syathibi (w. 1388 M),
tidak sependapat dengan Al-Ghazali. Dalam kitabnya, Al-Muwafaqat, beliau
--antara lain-- berpendapat bahwa para sahabat tentu lebih mengetahui Al-Quran
dan apa-apa yang tercantum di dalamnya, tapi tidak seorang pun di antara mereka
yang menyatakan bahwa Al-Quran mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan.
Menurut hemat kami,
membahas hubungan Al-Quran dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya
cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan pula dengan
menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiah. Tetapi pembahasan hendaknya
diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian
Al-Quran dan sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri.
Membahas hubungan
antara Al-Qur'an dan ilmu pengetahuan bukan dengan melihat, misalnya, adakah
teori relativitas atau bahasan tentang angkasa luar; ilmu komputer tercantum
dalam Al-Quran; tetapi yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa ayat-ayatnya
menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat
Al-Quran yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan? Dengan
kata lain, meletakkannya pada sisi "social psychology" (psikologi
sosial) bukan pada sisi "history of scientific progress" (sejarah
perkembangan ilmu pengetahuan). Anggaplah bahwa setiap ayat dari ke-6.226 ayat
yang tercantum dalam Al-Quran (menurut perhitungan ulama Kufah)8 mengandung suatu teori ilmiah, kemudian
apa hasilnya? Apakah keuntungan yang diperoleh dengan mengetahui teori-teori
tersebut bila masyarakat tidak diberi "hidayah" atau petunjuk guna
kemajuan ilmu pengetahuan atau menyingkirkan hal-hal yang dapat menghambatnya?
Malik bin Nabi di
dalam kitabnya Intaj Al-Mustasyriqin wa Atsaruhu fi Al-Fikriy Al-Hadits,
menulis: "Ilmu pengetahuan adalah sekumpulan masalah serta sekumpulan
metode yang dipergunakan menuju tercapainya masalah tersebut."9
Selanjutnya beliau
menerangkan: "Kemajuan ilmu pengetahuan bukan hanya terbatas dalam
bidang-bidang tersebut, tetapi bergantung pula pada sekumpulan syarat-syarat
psikologis dan sosial yang mempunyai pengaruh negatif dan positif sehingga
dapat menghambat kemajuan ilmu pengetahuan atau mendorongnya lebih jauh."
Ini menunjukkan
bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tidak hanya dinilai dengan apa yang
dipersembahkannya kepada masyarakat, tetapi juga diukur dengan wujudnya suatu
iklim yang dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan itu.10
Sejarah membuktikan
bahwa Galileo, ketika mengungkapkan penemuannya bahwa bumi ini beredar, tidak
mendapat counter dari suatu lembaga ilmiah. Tetapi, masyarakat tempat ia hidup
malah memberikan tantangan kepadanya atas dasar-dasar kepercayaan dogma,
sehingga Galileo pada akhirnya menjadi korban tantangan tersebut atau korban
penemuannya sendiri. Hal ini adalah akibat belum terwujudnya syarat-syarat
sosial dan psikologis yang disebutkan di atas. Dari segi inilah kita dapat
menilai hubungan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan.
Di dalam Al-Quran
tersimpul ayat-ayat yang menganjurkan untuk mempergunakan akal pikiran dalam
mencapai hasil. Allah berfirman: Katakanlah hai Muhammad: "Aku hanya
menganjurkan kepadanya satu hal saja, yaitu berdirilah karena Allah berdua-dua
atau bersendiri-sendiri, kemudian berpikirlah." (QS 34:36).
Demikianlah
Al-Quran telah membentuk satu iklim baru yang dapat mengembangkan akal pikiran
manusia, serta menyingkirkan hal-hal yang dapat menghalangi kemajuannya.
Salah satu faktor
terpenting yang dapat menghalangi perkembangan ilmu pengetahuan terdapat dalam
diri manusia sendiri. Para psikolog menerangkan bahwa tahap-tahap perkembangan
kejiwaan dan alam pikiran manusia dalam menilai suatu ide umumnya melalui tiga
fase. Fase pertama, menilai baik buruknya suatu ide dengan ukuran yang
mempunyai hubungan dengan alam kebendaan (materi) atau berdasarkan pada
pancaindera yang timbul dari kebutuhan-kebutuhan primer. Fase kedua, menilai
ide tersebut atas keteladanan yang diberikan oleh seseorang; dan atau tidak
terlepas dari penjelmaan dalam diri pribadi seseorang. Ia menjadi baik, bila
tokoh A yang melakukan atau menyatakannya baik dan jelek bila dinyatakannya
jelek. Fase ketiga (fase kedewasaan), adalah suatu penilaian tentang ide
didasarkan atas nilai-nilai yang terdapat pada unsur-unsur ide itu sendiri,
tanpa terpengaruh oleh faktor eksternal yang menguatkan atau melemahkannya
(materi dan pribadi).
Sejarah menunjukkan
bahwa pada masa-masa pertama dalam pembinaan masyarakat Islam, pandangan atau
penilaian segolongan orang Islam terhadap nilai al-fikrah Al-Quraniyyah (ide
yang dibawa oleh Al-Quran), adalah bahwa ide-ide tersebut mempunyai hubungan
yang sangat erat dengan pribadi Rasulullah saw. Dalam perang Uhud misalnya,
sekelompok kaum Muslim cepat-cepat meninggalkan medan pertempuran ketika
mendengar berita wafatnya Rasulullah saw., yang diisukan oleh kaum musyrik.
Sikap keliru ini lahir akibat pandangan mereka terhadap nilai suatu ide baru
sampai pada fase kedua, atau dengan kata lain belum mencapai tingkat
kedewasaannya.
Al-Quran tidak
menginginkan masyarakat baru yang dibentuk dengan memandang atau menilai suatu
ide apa pun coraknya hanya terbatas sampai fase kedua saja, karenanya turunlah
ayat-ayat: Muhammad tiada lain kecuali seorang Rasul. Sebelum dia telah ada
rasul-rasul. Apakah jika sekiranya dia mati atau terbunuh kamu berpaling ke
agamamu yang dahulu? Siapa-siapa yang berpaling menjadi kafir; ia pasti tidak
merugikan Tuhan sedikit pun, dan Allah akan memberikan ganjaran kepada
orang-orang yang bersyukur kepadaNya (QS 3:144).
Ayat tersebut
walaupun dalam bentuk istifham, tetapi --sebagaimana diterangkan oleh para
ulama Tafsir-- menunjukkan "istifham taubikhi istinkariy"11 yang berarti larangan menempatkan
"al-fikrah Al-Qur'aniyyah" hanya sampai pada fase kedua. Ayat ini
merupakan dorongan kepada masyarakat untuk lebih meningkatkan pandangan dan
penilaiannya atas suatu ide ke tingkat yang lebih tinggi sampai pada fase
ketiga atau fase kedewasaan. Ayat-ayat ini juga melepaskan belenggu-belenggu
yang dapat menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dalam alam pikiran manusia.
Untuk lebih
menekankan kepentingan ilmu pengetahuan alam masyarakat, Al-Quran memberikan
pertanyaan-pertanyaan yang merupakan ujian kepada mereka: Tanyakanlah hai
Muhammad! Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan mereka yang tidak
mengetahui? (QS 39:9).
Ayat ini menekankan
kepada masyarakat betapa besar nilai ilmu pengetahuan dan kedudukan cendekiawan
dalam masyarakat. Demikian juga ayat, Inilah kamu (wahai Ahl Al-Kitab), kamu
ini membantah tentang hal-hal yang kamu ketahui, maka mengapakah membantah pula
dalam hal-hal yang kalian tidak ketahui? (QS 3:66).
Ayat ini merupakan
kritik pedas terhadap mereka yang berbicara atau membantah suatu persoalan
tanpa adanya data objektif lagi ilmiah yang berkaitan dengan persoalan
tersebut. Ayat-ayat semacam inilah yang kemudian membentuk iklim baru dalam
masyarakat dan mewujudkan udara yang dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan.
Iklim baru inilah yang kemudian menghasilkan tokoh seperti Ibnu Sina,
Al-Farabi, Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, Jabir Ibnu Hayyan, dan sebagainya. Ia-lah
yang membantu Muhammad bin Ahmad menemukan angka nol pada tahun 976, yang
akhirnya mendorong Muhammad bin Musa Al-Khawarizmiy menemukan perhitungan
Aljabar. Tanpa penemuan-penemuan tersebut, Ilmu Pasti akan tetap merangkak dan
meraba-raba dalam alam gelap gulita.
Mewujudkan iklim
ilmu pengetahuan jauh lebih penting daripada menemukan teori ilmiah, karena
tanpa wujudnya iklim ilmu pengetahuan, para ahli yang menemukan teori itu akan
mengalami nasib seperti Galileo, yang menjadi korban hasil penemuannya.
Al-Quran sebagai
kitab petunjuk yang memberikan petunjuk kepada manusia untuk kebahagiaan
hidupnya di dunia dan di akhirat dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan
adalah mendorong manusia seluruhnya untuk mempergunakan akal pikirannya serta
menambah ilmu pengetahuannya sebisa mungkin. Kemudian juga menjadikan observasi
atas alam semesta sebagai alat untuk percaya kepada yang setiap penemuan baru
atau teori ilmiah, sehingga mereka dapat mencarikan dalilnya dalam Al-Quran
untuk dibenarkan atau dibantahnya. Bukan saja karena tidak sejalan dengan tujuan-tujuan
pokok Al-Quran tetapi juga tidak sejalan dengan ciri-ciri khas ilmu
pengetahuan. Untuk menjelaskan hal ini, berikut ini kami paparkan beberapa
ciri-ciri ilmu pengetahuan.
Ciri khas nyata
dari ilmu pengetahuan (science) yang tidak dapat diingkari --meskipun oleh para
ilmuwan-- adalah bahwa ia tidak mengenal kata "kekal". Apa yang
dianggap salah di masa silam misalnya, dapat diakui kebenarannya di abad
modern.
Pandangan terhadap
persoalan-persoalan ilmiah silih berganti, bukan saja dalam lapangan pembahasan
satu ilmu saja, tetapi terutama juga dalam teori-teori setiap cabang ilmu
pengetahuan. Dahulu, misalnya, segala sesuatu diterangkan dalam konsep material
(istilah-istilah kebendaan) sampai-sampai manusia pun hendak dikatagorikan
dalam konsep tersebut. Sekarang ini kita dapati psikologi yang membahas
mengenai jiwa, budi dan semangat, telah mengambil tempat tersendiri dan
mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Dahulu,
persoalan-persoalan moral tidak mendapat perhatian ilmuwan, tetapi kini
penggunaan senjata-senjata nuklir, misalnya, tidak dapat dilepaskan dari
persoalan tersebut; mereka tidak mengabaikan persoalan moral dalam penggunaan
senjata nuklir yang merupakan hasil dari kemajuan ilmu pengetahuan.
Teori-teori ilmiah
juga silih berganti. Qawanin Al-Thabi'ah (Natural Law) yang dahulu dianggap
pasti, tak mengizinkan suatu kebebasan pun. Sekarang ini ia hanya dinilai
sebagai "summary of statictical averages" (ikhtisar dari rerata
statistik).
Teori bumi datar
yang merupakan satu hukum aksioma di suatu masa misalnya, dibatalkan oleh teori
bumi bulat yang kemudian dibatalkan pula oleh teori lonjong seperti lonjongnya
telur. Mungkin tidak sedikit orang yang yakin-bahwa pertimbangan-pertimbangan
logika atau ilmiah --terutama menurut Ilmu Pasti-- adalah "benar",
sedangkan kenyataannya belum tentu demikian.
Salah satu sebab
dari kesalahan ini adalah karena sering kali titik tolak dari pemikiran manusia
berdasarkan pancaindera atau perasaan umum. Perasaan umumlah yang, misalnya,
menyatakan bahwa sepotong baja adalah padat, padahal sinar U memperlihatkan
bahwa ia berpori.
Karenanya, tidak
heran kalau Imam Al-Ghazali pada suatu masa hidupnya tidak mempercayai indera.
Beliau menulis dalam kitabnya Al-Munqidz min Al-Dhalal: "Bagaimana kita
dapat mempercayai pancaindera, dimana mata merupakan indera terkuat, sedangkan
bila ia melihat ke satu bayangan dilihatnya berhenti tak bergerak sehingga
dikatakanlah bahwa bayangan tak bergerak. Tetapi dengan pengalaman dan pandangan
mata, setelah beberapa saat, diketahui bahwa bayangan tadi tak bergerak, bukan
disebabkan gerakan spontan tetapi sedikit demi sedikit sehingga ia sebenarnya
tak pernah berhenti; begitu juga mata memandang kepada bintang, ia melihatnya
kecil bagaikan uang dinar, akan tetapi alat membuktikan bahwa bintang lebih
besar daripada bumi."12
Segala
undang-undang ilmiah yang diketahui hanya menyatakan saling bergantinya
"psychological states" (keadaan-keadaan jiwa) yang ditentukan pada
diri kita oleh sebab-sebab tertentu (mengambil sebab dari musabab atau dari
ma'lul kepada 'illah). Ini menunjukkan bahwa segala undang-undang ilmiah pada
hakikatnya relatif dan subjektif.
Dari sini jelaslah
bahwa ilmu pengetahuan hanya melihat dan menilik; bukan menetapkan. Ia
melukiskan fakta-fakta, objek-objek dan fenomena-fenomena yang dilihat dengan
mata seorang yang mempunyai sifat pelupa, keliru, dan ataupun tidak mengetahui.
Karenanya, jelas pulalah bahwa apa yang dikatakan orang sebagai sesuatu yang
benar (kebenaran ilmiah) sebenarnya hanya merupakan satu hal yang relatif dan
mengandung arti yang sangat terbatas.
Kalau demikian ini
sifat dan ciri khas ilmu pengetahuan dan peraturannya, maka dapatkah kita
menguatkannya dengan ayat-ayat Tuhan yang bersifat absolut, abadi dan pasti
benar? Relakah kita mengubah arti ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan perubahan
atau teori ilmiah yang tidak atau belum mapan itu? Tidakkah hal ini memberikan
kesempatan kepada musuh-musuh Al-Quran atau bahkan kepada kaum Muslim sendiri
untuk meragukan kebenaran Al-Quran, kitab akidah dan petunjuk, terutama setelah
ternyata terdapat kesalahan suatu teori ilmiah yang tadinya dibenarkan oleh
Al-Quran? Demikian juga mengingkari suatu teori ilmiah berdasarkan ayat-ayat
Al-Quran sangat berbahaya, karena ekses yang ditimbulkannya tidak kurang
bahayanya dengan apa yang timbul di Eropa ketika gereja mengingkari teori
bulatnya bumi dan peredarannya mengelilingi matahari.
Perkembangan hidup
manusia mempunyai pengaruh yang sangat mendalam terhadap perkembangan
akal-pikirannya. Ini juga berarti mempunyai pengaruh dalam pengertian terhadap
ayat-ayat Al-Quran.
Dalam abad pertama
Islam, para ulama sangat berhati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran.
Seorang pernah bertanya kepada Sayyidina Abu Bakar, apakah arti kalimat abba
dalam ayat: wa fakihah wa abba. Beliau menjawab: "Di bumi apakah aku
berpijak, dengan langit apakah aku berteduh bila aku mengatakan sesuatu dalam
Al-Quran menurut pendapatku".
Bahkan, sebagian di
antara para ulama, bila ditanya mengenai pengertian satu ayat, mereka tidak
memberikan jawaban apa pun. Diriwayatkan oleh Imam Malik bahwa Said Ibn
Musayyab, bila ditanya mengenai tafsir suatu ayat, beliau berkata: "Kami
tidak berbicara mengenai Al-Quran sedikit pun." Demikian juga halnya
dengan Sali bin 'Abdullah bin 'Umar, Al-Qasim bin Abi Bakar, Nafi', Al-Asma'i,
dan lain-lain.
Pada abad-abad
berikutnya, sebagian besar ulama berpendapat bahwa setiap orang boleh
menafsirkan ayat-ayat Al-Quran selama ia memiliki syarat-syarat tertentu
seperti: pengetahuan bahasa yang cukup, misalnya, menguasai nahw, sharaf,
balaghah, dan isytiqaq; juga Ilmu Ushuluddin, Ilmu Qira'ah, Asbab Al-Nuzul,
Nasikh-Mansukh, dan lain sebagainya.
Sejarah penafsiran
Al-Quran dimulai dengan menafsirkan ayat-ayatnya sesuai dengan hadis-hadis
Rasulullah saw., atau pendapat para sahabat. Penafsiran demikian kemudian
berkembang, sehingga dengan tidak disadari, bercampurlah hadis-hadis shahih
dengan Isra'iliyat (kisah-kisah yang bersumber dari Ahli Kitab yang umumnya
tidak sejalan dengan kesucian agama atau pikiran yang sehat). Hal ini
mengakibatkan sebagian ulama menolak penafsiran yang menggambarkan
pendapat-pendapat penulisnya, atau menyatukan pendapat-pendapat tersebut dengan
hadis-hadis atau pendapat-pendapat para sahabat yang dianggap benar.
Tafsir Al- Thabari,
misalnya, adalah satu kitab tafsir yang menyimpulkan hadis-hadis dan
pendapat-pendapat terdahulu. Kemudian penulisnya, Al-Thabari, men-tarjih
(menguatkan) salah satu pendapat di antaranya. Sedangkan Tafsir Fakhr Al-Razi
(w. 606 H/1209 M) adalah satu kitab yang lebih banyak menggambarkan pendapat
Fahr Al-Razi sendiri; sementara riwayat-riwayat terdahulu tidak banyak
dituliskan, kecuali dalam batas-batas yang sangat sempit.
Demikianlah, dan
dari masa ke masa timbullah kemudian beraneka warna corak tafsir: ada yang
berdasarkan nalar penulisnya saja, ada pula berdasarkan riwayat-riwayat, ada
pula yang menyatukan antara keduanya. Persoalan-persoalan yang dibahas pun
bermacam-macam: ada yang hanya membahas arti dari kalimat-kalimat yang sukar
saja (Tafsir Gharib), seperti Al-Zajjaj dan Al-Wahidiy; ada yang menulis
kisah-kisah, seperti Al-Tsa'labiy dan Al-Khazin; ada yang memperhatikan persoalan
balaghah (sastra bahasa) seperti Al-Zamakhsyari; atau persoalan ilmu
pengetahuan, logika dan filsafat seperti Al-Fakhr Al-Razi; atau fiqih seperti
Al-Qurthubiy; dan ada pula yang hanya merupakan "terjemahan"
kalimat-kalimatnya saja seperti Tafsir Al-Jalalain.
Agaknya benar juga
pandangan sementara pakar, bahwa "Sepanjang sejarah, tidak dikenal satu
kitab apa pun yang telah ditafsirkan, diterangkan, dikumpulkan interpretasi dan
pendapat para ahli terhadapnya dalam kitab yang berjilid-jilid seperti halnya
Al-Quran."
Penafsiran ilmiah
atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan ilmu pengetahuan telah lama
berlangsung. Tafsir Fakhr Al-Raziy, misalnya, adalah satu contoh dari
penafsiran ilmiah terhadap ayat-ayat Al-Quran, sehingga sebagian ulama tidak
menamakan kitabnya sebagai Kitab Tafsir. Karena persoalan-persoalan filsafat
dan logika disinggung dengan sangat luas.
Abu Hayyan dalam
tafsirnya menulis: "Al-Fakhr Al-Razi di dalam Tafsirnya mengumpulkan
banyak persoalan secara luas yang tidak dibutuhkan dalam Ilmu Tafsir. Karenanya
sebagian ulama berkata: 'Di dalam Tafsirnya terdapat segala sesuatu kecuali
tafsir'."13
Kelanjutan dari
penafsiran ilmiah ini adalah penafsiran yang sesuai dengan teori-teori ilmiah
atau penemuan-penemuan baru. Dahulu ada orang yang menguatkan pendapat yang
menyatakan bahwa planet hanya tujuh (sebagaimana pendapat ahli-ahli Falak
ketika itu) dengan ayat-ayat yang menunjukkan bahwa ada tujuh langit. Teori
tujuh planet tersebut ternyata salah. Karena planet-planet yang ditemukan oleh
ilmu pengetahuan dalam tata surya saja berjumlah 10 planet, disamping jutaan
bintang yang tampaknya memenuhi langit, kesepuluh planet itu hanya laksana
setetes air dalam lautan bila dibandingkan dengan banyaknya bintang di seluruh
angkasa raya.
Setiap galaksi,
menurut mereka, rata-rata memiliki seratus biliun bintang, sedangkan seluruh
ruang alam semesta didiami oleh berbiliun-biliun galaksi.
Jadi, yang
membenarkan bahwa planet hanya tujuh berdasarkan ayat-ayat tadi, nyata-nyata
telah keliru. Kekeliruan tersebut merupakan satu dosa besar bila dia memaksakan
orang untuk mempercayai pendapat tersebut atas nama Al-Quran, atau dia meyakini
hal tersebut sebagai satu akidah Al-Quran. Setiap Muslim wajib mempercayai
segala sesuatu yang terdapat di dalam Al-Quran. Bila seseorang membenarkan satu
teori ilmiah berdasarkan Al-Quran, berarti pula dia mewajibkan setiap Muslim
untuk mempercayai teori tersebut.
Kekeliruan mereka
itu serupa dengan kekeliruan sebagian cendekiawan Islam yang mengingkari teori
evolusi Darwin (1804-1872) dengan beberapa ayat Al-Quran, atau mereka yang
membenarkan dengan ayat-ayat lainnya. Memang, tak sedikit dari cendekiawan
Islam yang mengakui kebenaran teori tersebut. Bahkan lima abad sebelum Charles
Darwin, 'Abdurrahman Ibn Khaldun (1332-1406) menulis dalam kitabnya, Kitab
Al-'Ibar fi Daiwani Al-Mubtada'i wa Al-Khabar (dalam mukadimah ke-6 pasal I)
sebagai berikut: "Alam binatang meluas sehingga bermacam-macam golongannya
dan berakhir proses kejadiannya pada masa manusia yang mempunyai pikiran dan
pandangan. Manusia meningkat dari alam kera yang hanya mempunyai kecakapan dan
dapat mengetahui tetapi belum sampai pada tingkat menilik dan berpikir."
Yang dimaksud
dengan kera oleh beliau ialah sejenis makhluk yang --oleh para penganut
evolusionisme-- disebut Anthropoides. Ibnu Khaldun dan cendekiawan-cendekiawan
lainnya, ketika mengatakan atau menemukan teori tersebut, bukannya merujuk
kepada Al-Quran, tetapi berdasarkan penyelidikan dan penelitian mereka.
Walaupun demikian, ada sementara Muslim yang kemudian berusaha membenarkan
teori evolusi dengan ayat-ayat Al-Quran seperti: Mengapakah kamu sekalian tidak
memikirkan/mempercayai kebesaran Allah, sedangkan Dia telah menjadikan kamu
berfase-fase (QS 71:13-14).
Fase-fase ini
menurut mereka bukan sebagaimana apa yang kami pahami dan yang diterangkan oleh
Al-Quran dalam surah Al-Mu'minun ayat 11-14. Tapi mereka menafsirkannya sesuai
dengan paham penganut-penganut teori Darwin dalam proses kejadian manusia.
Ayat, Adapun buih maka akan lenyaplah ia sebagai sesuatu yang tak bernilai,
sedangkan yang berguna bagi manusia tetap tinggal di permukaan bumi (QS 13:17)
dijadikan bukti kebenaran teori "struggle for life" yang menjadi
salah satu landasan teori Darwin. Hemat penulis, ayat-ayat tadi, dan yang
semacamnya, tidak dapat dijadikan dasar untuk menguatkan dan membenarkan teori
Darwin, tetapi ini bukan berarti bahwa teori tadi salah menurut Al-Quran.
'Abbas Mahmud Al-'Aqqad menerangkan dalam bukunya Al-Falsafah Al-Qur'aniyyah,
sebagai berikut: "Mereka yang mengingkari teori evolusi dapat
mengingkarinya dari diri mereka sendiri, karena mereka tidak puas terhadap
kebenaran argumentasi-argumentasinya. Tetapi mereka tidak boleh mengingkarinya
berdasarkan Al-Quran Al-Karim, karena mereka tidak dapat menafsirkan kejadian
asal-usul manusia dari tanah dalam satu penafsiran saja kemudian menyalahkan
penafsiran-penafsiran lainnya."14
Atau apa yang
ditulis oleh Muhammad Rasyid Ridha dalam majalah Al-Manar. "Teori Darwin
tidak membatalkan --bila teori tersebut benar dan merupakan hal yang nyata--
tentang satu dasar dari dasar-dasar Islam; tidak bertentangan dengan satu ayat
dari ayat-ayat Al-Quran. Saya mengenal dokter-dokter dan lainnya yang
sependapat dengan Darwin. Mereka itu orang-orang mukmin dengan keimanan yang
benar dan Muslim dengan keislaman sejati; mereka menunaikan sembahyang dan
kewajiban-kewajiban lainnya, meninggalkan keonaran, dosa dan kekejaman yang
dilarang Allah SWT sesuai dengan ajaran-ajaran agama mereka. Tetapi teori
tersebut adalah ilmiah, bukan persoalan agama sedikit pun."15
Kita tidak dapat
membenarkan atau menyalahkan teori-teori ilmiah dengan ayat-ayat Al-Quran;
setiap ditemukan suatu teori cepat-cepat pula kita membuka lembaran-lembaran
Al-Quran untuk membenarkan atau menyalahkannya, karena apabila teori yang
dibenarkan itu ternyata salah atau sebaliknya, maka musuh-musuh Islam mendapat
kesempatan yang sangat baik untuk menyalahkan Kitab Allah sambil mencemooh kaum
Muslim. Jalan yang lebih tepat guna membantah cemoohan ialah dengan
menghindarkan sebab-sebab cemoohan itu: Janganlah kamu mencerca orang-orang
yang menyembah selain Allah, karena hal ini menjadikan mereka mencerca Allah
dengan melampaui batas, karena kebodohan mereka (QS 6:108).
Ayat ini melarang
kita mencemoohkan mereka, karena cercaan kita merupakan sebab dari cercaan
mereka kepada Allah SWT. Begitu juga halnya dalam masalah Al-Quran: jangan
membenarkan atau menyalahkan suatu teori dengan ayat-ayat Allah (Al-Quran) yang
memang pada dasarnya tidak membahas persoalan-persoalan tersebut secara
mendetil. Tidak membahas secara mendetil, karena tidak dapat diingkari bahwa
ada ayat-ayat Al-Quran yang menyinggung secara sepintas lalu
kebenaran-kebenaran ilmiah yang belum ditemukan atau diketahui oleh manusia di
masa turunnya Al-Quran, seperti firman Allah SWT:
Apakah orang-orang
kafir tidak berpikir sehingga tidak mengetahui bahwa langit dan bumi tadinya
bersatu/bertaut, kemudian kami ceraikan keduanya dan Kami jadikan segala
sesuatu yang hidup dari air (QS 21:30).
Ayat ini
menerangkan bahwa langit dan bumi, tadinya merupakan suatu gumpalan. Dan pada
suatu masa yang tidak diterangkan oleh Al-Quran, gumpalan tersebut dipecahkan
atau dipisah oleh Allah SWT. Hanya ini yang dimengerti dari ayat tersebut dan
merupakan kewajiban setiap Muslim untuk mempercayainya. Seorang Muslim tidak
dapat menyatakan bahwa ayat tersebut menguatkan suatu teori, atau lebih tepat
dikatakan sebagai hipotesis tentang pembentukan matahari dan planet-planet
lainnya, apa pun teori tersebut.
Setiap orang bebas
untuk menyatakan pendapatnya mengenai terjadinya planet-planet tata surya. Ia
boleh berkata bahwa ia berasal bola gas yang berotasi cepat, yang lama kelamaan
pecah dan terpisah-pisah menjadi planet-planet kecil akibat panas yang sangat
keras. Ia juga dapat menyatakan bahwa terjadinya planet sebagai akibat tabrakan
antara dua matahari, atau disebabkan karena pecahnya matahari itu sendiri, dan
lain-lain. Setiap orang bebas dan berhak untuk menyatakan apa yang dianggapnya
benar, tetapi ia tidak berhak untuk menguatkan pendapatnya dengan ayat tersebut
dengan memahaminya lebih dari apa yang tersimpul didalamnya. Karena dengan
demikian ia menjadikan pendapat tersebut sebagai satu akidah dari 'aqidah
Quraniyyah. Dan ia juga tidak berhak untuk menyalahkan satu teori atas nama
Al-Quran kecuali bila ia membawakan satu nash yang membatalkannya.
Catatan kaki
8 Jumlah yang populer dan luas dipegang adalah
6.666 ayat. Tetapi, jumlah ini tidak diketahui dasarnya. Terdapat juga
pandangan lain. Perbedaan jumlah ini disebabkan oleh perbedaan cara menghitung
basmalah di setiap awal surat sebagai ayat tersendiri. Juga ayat seperti Alif
lam mim, dan lain-lain.
9 Terbitan Dar Al-Irsyad, 1969, h. 30.
10 Ibid.
11 Pertanyaan yang mengandung kecaman, sekaligus
larangan untuk melakukannya.
12 Al-Ghazali, Al-Munqidz min Al-Dhalal,
komentar 'Abdul Halim Mahmud, Anglo Al-Mishriyyah, Kairo, 1964, h. 15.
13 Abu Hayyan, Al-Bahr Al-Muhith, Dar Al-Fikr,
Kairo 1979, Jilid I, h. 13.
14 Bandingkan dengan 'Abbas Mahmud Al-Aqqad,
Al-Insan fi Al-Quran Al-Karim, Dar Al-Hilal, Kairo, t.t., h. 171.
15 Al-Manar, Sya'ban 1327/September 1909.